Quantcast
Channel: DEFENSE STUDIES
Viewing all 14267 articles
Browse latest View live

Australia Welcomes Next Two F-35A Joint Strike Fighter Aircraft

$
0
0
09 April 2019


RAAF F-35As, A35-011 and A35-012 (photo : Aus DoD)

Minister for Defence, the Hon Christopher Pyne MP, together with Minister for Defence Industry, Senator the Hon Linda Reynolds CSC, announced the arrival of the next two F-35A Joint Strike Fighter aircraft into Australia.

“I’m pleased to welcome our newest F-35As, A35-011 and A35-012, bringing the total number of aircraft in Australia to four,” Minister Pyne said.

“After completing various validation and verification activities in the United States, these aircraft have now arrived at RAAF Base Williamtown and will be assigned to Number 3 Squadron.”

Minister Reynolds said the F-35A program has provided significant opportunities for Australian industry.



“More than 50 Australian companies have directly shared in over $1.3 billion in global F-35A production contracts to date, employing more than 2,400 Australians,” Minister Reynolds said.

“This also includes small and unique Australian businesses who indirectly benefit through the supply chain network.”

“More opportunities are expected for Australian companies as production continues, with Australian industry involvement expected to exceed $2 billion by 2023 and employ 5,000 people nationally.”

Australia will take delivery of eight F-35A aircraft in 2019 and at least 72 aircraft over the life of the program.

(Aus DoD)

TH Heavy Sedia Jadi Peneraju Industri OPV

$
0
0
09 April 2019


Model OPV dari TH Heavy (photo : Lowyat)

LANGKAWI: TH Heavy Engineering Bhd (TH Heavy) bersedia menjadi peneraju dalam industri pembinaan Kapal Peronda Luar Pantai (OPV) untuk kegunaan agensi penguatkuasaan di negara ini.

Ketua Pegawai Eksekutif Kumpulan TH Heavy, Suhaimi Badrul Jamil, berkata syarikat kini giat menyiapkan pembinaan tiga OPV bernilai RM740 juta untuk kegunaan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (Maritim Malaysia).

"Awal tahun depan, ketiga-tiga kapal yang sedang dibina di Limbungan Pulau Indah, Selangor itu bakal diserahkan kepada Maritim Malaysia.

"Berbekalkan pengalaman itu, kami mampu membina kapal yang panjangnya mencecah sehingga 120 meter," katanya ketika ditemui di gerai pameran TH Heavy di Pusat Pameran Antarabangsa Mahsuri (MIEC) di sini, hari ini.

Beliau berkata, berbekalkan 400 pekerja yang mahir dalam pembinaan kapal, TH Heavy yakin memperoleh projek baharu seterusnya membantu menjana keuntungan kepada syarikat.

"TH Heavy berbangga apabila menjadi menerima tunggal sijil pengiktirafan daripada Jabatan Laut Malaysia (JLM) berkaitan keselamatan dan kawalan aset serta kerja-kerja baik pulih kapal di limbungan.

"Jadi, pelanggan kami tidak perlu risau terhadap aset mereka yang dihantar ke limbungan untuk dibaiki atau aset baharu yang kami bina untuk kegunaan mereka," katanya.

Selain itu, Suhaimi berkata, TH Heavy juga adalah penerima sijil Organisasi Standard Antarabangsa (ISO) iaitu ISO 9001:2015, ISO 14001:2015 dan Sistem Pengurusan Keselamatan dan Kesihatan Pekerjaan OHSAS 18001:2007.

(Berita Harian)

Saab Indonesia Ucapkan HUT TNI AU dengan Cara Unik

$
0
0
10 April 2019


Model pesawat Saab 2000 Erieye AEW&C (photos : Saab Indonesia)

Saab Indonesia melalui akun Facebooknya memberikan ucapan selamat yang unik, TNI AU dibuatkan model pesawat AEW&C, pesawat yang akan diputuskan TNI AU dalam waktu dekat.

==========================

Swa Bhuwana Paksa. 73 tahun TNI Angkatan Udara berjuang untuk Indonesia!

Dalam rangka menyambut dirgahayu TNI-AU ke-73 (09/04/19), kami mempersembahkan untuk Anda, mata di langit Indonesia untuk masa depan keamanan bangsa. 

Inilah, Saab 2000 Erieye AEW&C dengan desain khas TNI-AU.



Dengan kapabilitas modernnya yang efektif dan performa yang tak tertandingi dalam segi jangkauan dan efisiensi biaya sesuai dengan anggaran, kami yakin Saab 2000 Erieye AEW&C dapat memperjauh penglihatan dan menjadi basis awal teknologi net-centric warfare dan satu langkah lebih dekat untuk penggabungan seluruh aset TNI.



Produk ini juga datang dengan komitmen bahwa Saab akan menjadi mitra jangka panjang untuk TNI-AU dengan alih teknologi dan kerjasama industri. Makin semangat dan jaya melindungi Indonesia!

(Saab Indonesia)

CN-295 Special Mission Jalani Tes di PT DI

$
0
0
10 April 2019


Pesawat CN-295 berkode AX-2911 (photo : fiolina)

Sewaktu petinggi Airbus Defence and Space berkunjung ke Jakarta pada Agustus 2016 lalu, disebutkan bahwa salah satu pesanan pesawat C-295M (di Indonesia disebut CN-295) untuk TNI AU akan berkonfigurasi Special Mission. Sontak sejak itu pemerhati militer bertanya-tanya mengenai jenis pesawat ini.

Kementerian Pertahanan mengumumkan pembelian 9 pesawat CN-295 dari Airbus pada bulan Februari tahun 2012 lalu. Produksi pesawat ini dilakukan di Sevilla, Spanyol dan juga sebagian diantaranya diproduksi di PT DI Bandung. 

Pesawat CN-295 berkode AX-2911 (photo : Akang Aviation)

Menengok pada proyeksi penerimaan pesawat TNI AU dalam tahun 2019terdapat rencana serah terima pesawat CN-295 Special Mission. Pesawat ini adalah satu-satunya pesawat CN-295 yang akan diserahkan kepada TNI AU tahun ini. Mengingat bahwa pada saat yang sama PT DI sedang melakukan testing pesawat CN-295 untuk TNI AU, maka dapat dipastikan bahwa pesawat inilah yang merupakan pesawat CN-295 Special Mission.

PT DI saat ini menguji pesawat CN-295 berkode pabrik AX-2911 dengan skema warna loreng sebagaimana pesawat angkut lainnya di lingkungan TNI AU. Ketika bertugas di TNI AU nantinya, pesawat ini akan menggunakan kode A-2910, yang berarti bahwa fungsi sebagai pesawat angkut tetap lebih dominan.  

Pesawat CN-295 berkode AX-2911 (photo : Akang Aviation)

Pesawat berkode AX-2911 saat ini terus menjalani uji coba di Lanud Husein Sastranegara, Bandung dan berhasil tertangkap bidikan kamera oleh beberapa spotter. Meskipun beberapa pihak memperkirakan pesawat ini sebagai pesawat MPA, namun melihat konfigurasi MPA pada pesawat TNI AU, setidaknya ada peralatan Radar, FLIR, dan ESM, namun hal tersebut tidak semuanya ada di pesawat ini. Lagi pula TNI AU tidak memesan MPA berbasis pesawat CN-295.

Lantas Special Mission yang bagaimanakah pesawat ini ? Sejumlah pihak sudah menjawab bahwa pesawat ini akan berfungsi sebagai KODAL (Komando dan Pengendalian) atau Command and Control aircraft (C2). Bahkan para spotter pun juga sudah menuliskan pesawat ini sebagai pesawat KODAL.


Pesawat CN-295 berkode AX-2911 (photo : Akang Aviation)

Melalui salah satu forum sosmed disebutkan bahwa pada saat awal pembahasan, yaitu saat usulan proyek ini di Kementerian Pertahanan disebutkan bahwa pesawat ini akan menggunakan peralatan L3 Technologies SPYDR untuk kepentingan KODAL.

L3 SPYDR dibuat oleh perusahaan L3 Technologies yang bermarkas di New York, Amerika. Perusahaan ini telah berpengalaman selama 60 tahun dalam mengembangkan teknologi Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance systems (ISR), command and control systems (C2=Kodal), dan komunikasi yang aman untuk militer.

Peralatan ISR dan C2 pada SPYDR (image : L3 Technologies)

SPYDR merupakan teknologi ISR dan C2 yang pada mulanya dicangkokkan pada pesawat kecil jenis Beechcraft King Air 350. Sistem lengkap SPYDR terdiri dari : full motion video, primary mission equipment, self protection, dan mission configuration. Kemungkinan TNI AU tidak mengadopsi seluruh sistemnya sehingga kabin masih longgar dan fungsi angkut pesawat tetap dapat dijalankan. Dengan kata lain pesawat ini akan menjadi pesawat komando dan kontrol atas operasi penerbangan yang berkedudukan di udara.

Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari TNI AU ataupun PT DI mengenai peralatan apa yang dipasang pada CN-295 Special Mission ini, apakah tetap memakai SPYDR seperti perencanaan awal atau sudah berubah menggunakan peralatan yang lain. Kita tunggu saja pemberitahuan resminya saat pesawat ini diserah-terimakan pada pertengahan tahun ini.

(Defense Studies)

Malaysia Approves Additional Defence Funds for 2019

$
0
0
10 April 2019


AV-8 Gempita 8x8 (photo : Daily Sabah)

The Malaysian House of Representatives (Dewan Rakyat) has approved additional funding for the country's 2019 defence budget. The additional funding takes Malaysia's military expenditure for the year to MY15.5 billion (USD3.78 billion).

The newly released defence funds - approved by the Dewan Rakyat earlier in April - amount to MYR226.1 million and were part of a larger supplementary budget for 2019. The Malaysian Ministry of Defence (MoD) had originally requested additional funding of about MYR851 million.

The funding increase comes after the MoD received additional funding of MYR1.4 billion in mid-November. This funding was reportedly allocated for maintenance, repair, and overhaul (MRO) activity.

(Jane's)

RAAF Receives Eighth P-8A Poseidon Aircraft

$
0
0
10 April 2019


RAAF P-8A Poseidon (photo : Wal Nelowkin)

RAAF receives latest P-8A Poseidon aircraft

Minister for Defence, the Hon Christopher Pyne MP and Minister for Defence Industry, Senator the Hon Linda Reynolds CSC have announced receipt of the latest P-8A Poseidon aircraft into the Royal Australian Air Force (RAAF).

Minister Pyne said this was another milestone in this important project to enhance Australia’s maritime security.

“The Poseidon is a cutting edge aircraft that will conduct a range of tasks including anti-submarine warfare; maritime and overland intelligence, surveillance and reconnaissance and support to search and rescue missions,” Minister Pyne said.

“Aircraft number eight had been identified as RAAF’s long-term fatigue management aircraft and had been fitted with a raft of diagnostic equipment.”

“This specially equipped aircraft will allow RAAF to collect useful data to analyse the life of the aircraft and identify what can be done to sustain it further.”

Minister Reynolds said the Poseidon aircraft will not only play an important role in maintaining border security but also in boosting opportunities for defence industry and creating jobs.

“These aircraft will be based and sustained at RAAF Base Edinburgh in South Australia, creating over 120 jobs by next year.” Minister Reynolds said.

“The project is part of a broader Intelligence, Surveillance and Reconnaissance precinct being developed at the Super Base, which will support and create highly skilled jobs in South Australia for decades to come.”

“A workforce of over 4,000 Australians has already contributed to the broader infrastructure build happening at RAAF Base Edinburgh.”

The eighth aircraft is now undergoing its verification and validation flying in the United States, and will join the rest of the fleet in Australia, based at RAAF Base Edinburgh, in mid-June 2019.

(Aus DoD)

US and Philippines Said to Be in Talks on Rocket System

$
0
0
10 April 2019


M142 HIMARS High Mobility Artillery Rocket System (photo : US DoD)

US and Philippines said to be in talks on rocket system to deter Beijing’s ‘militarisation’ in South China Sea

Washington and Manila have been discussing the potential deployment of an upgraded US rocket system in a bid to deter Beijing’s “militarisation” of its artificial islands in the contested South China Sea, according to regional security experts.

But the two sides have been unable to reach a deal because the high-mobility artillery rocket system (HIMARS) could be too expensive for Manila given its tight defence budget, they said.

The allies’ defence chiefs, however, reaffirmed their “enduring alliance” on Monday in Washington, and agreed to increase the interoperability of their forces and US support for the modernisation of the Philippines’ armed forces.

The latest reaffirmation echoed US Secretary of State Mike Pompeo’s mutual defence reassurance in Manila last month, when Pompeo singled out the threat of “China’s island-building and military activities” in the disputed waterway.

If deployed, the long-range, precision-guided rockets fired by the system would be able to strike Chinese man-made islands on reefs in the Spratly chain, one expert said.

The revelation came after an influential defence think tank, the Centre for a New American Security (CNAS) in Washington, warned in a new report that the US’ “freedom of navigation” operations had failed to fundamentally alter Beijing’s course in the South China Sea.

Beijing has reportedly installed anti-ship and surface-to-air missile systems on three artificial islands on Fiery Cross, Subi and Mischief reefs in the Spratly chain, posing a potential hurdle to US military access in the contested area. It rejected a US demand that the missiles be removed during high-level diplomatic and security talks in Washington in November.

The think tank’s report released on March 21 urged the US to deploy HIMARS in Southeast Asian countries, which will “demonstrate the flexibility and variability of America’s rotational military presence”.

The rocket system was first test-fired in the US-Philippines annual military drill, Balikatan, in 2016.
The Pentagon’s director of the joint staff, Lieutenant General Kenneth McKenzie, has warned that the US has the ability to “take down” China’s artificial islands.

Chinese military experts had a mixed response, with one dismissing the possibility of a HIMARS deployment in the near future and another urging Beijing to pay attention to the alarming message.


Himars on Balikatan exercise (photo : Inquirer)

The US Army Pacific, which operates HIMARS in the region, has not publicly singled out the system from a set of options that could be used in a conflict in the South China Sea.

General James McConville, the US Army’s vice chief of staff, indicated last month that no imminent deployment of “long-range precision fires” was in the pipeline but partner nations in the Pacific “are open to the discussion”, according to a report by Stars and Stripes.

Derrick Cheng, a US Army Pacific spokesman, declined to comment on the details of any “operations or activities related to any future deployment of US Army soldiers or equipment”.

“For US Army Pacific, the M142 HIMARS is a capability within our organisation, specifically the 17th Field Artillery Brigade that we train and use to maintain our overall war-fighting readiness,” Cheng said. “The brigade and its role as a multi-domain task force is part of our effort to integrate capabilities and evolve the concept of multi-domain operations.”

HIMARS is a light multiple rocket launcher, mounted on a US Army truck, that can launch six rounds of rockets, or one surface-to-surface tactical missile with a maximum range of 300km (186 miles).

Manufacturer Lockheed Martin was awarded a US$289 million US Army contract for 24 HIMARS and associated equipment in September, putting the price for each system close to US$12 million.

Patrick Cronin, former senior director for national strategic studies at the US’ National Defence University, said “HIMARS, and other rockets and missiles, are currently being considered not just for regional exercises but also for possible deployment to improve the deterrent capability of regional partners”.

Cronin, also the lead author of the CNAS report, said the US Army, Marine Corps and the Philippines armed forces “certainly” had interests in deploying the firepower, which “is being driven by China’s militarisation of outposts in the Spratly Islands”.

He added that HIMARS “would be better against a fixed target, such as an artificial island”.

Song Zhongping, a Hong Kong-based military analyst, said it would be “very difficult” for Southeast Asian countries to deploy the weapon in the near future, despite Washington repeatedly touting the offer.

“Southeast Asian countries are cautious in deploying such firepower,” Song said. “They prefer military assistance to arms sales from the US, because nations like the Philippines cannot afford it.”

Philippine President Duterte approved a US$5.6 billion military modernisation plan last June, but it focused on unmanned aerial vehicles, long-range patrol aircraft, offshore patrol ships and an electric-diesel submarine, according to Reuters.

The previous administration of Benigno Aquino spent about US$1.7 billion on the military during its 2010-16 term in office, mostly on second-hand ships and planes.

Zhu Feng, an international relations professor at Nanjing University specialising in East Asian security affairs, cautioned that Beijing should pay heed to the possible deployment.

The appeal of deploying long-range firepower reflected growing US dissatisfaction with China’s “militarisation” of the island reefs, Zhu said, adding that “Beijing should refrain from fully weaponising those artificial islands”.

However, speaking at the Boao Forum for Asia last week, Wu Shicun, head of the government-affiliated National Institute for South China Sea Studies, said China should reinforce “deterrence facilities” in the contested waters as the US and its allies mount a bigger challenge there.

Partly maintaining those outposts for civilian use would be helpful for Beijing to smooth and expand relations with Southeast Asian countries, a majority of whom shared the US’ concern, he said.

Collin Koh Swee Lean, a maritime security research fellow at Nanyang Technological University in Singapore, said the relatively inexpensive HIMARS could still be “on the costly side” for militaries on tight budgets.

But the US Army considered deployment of the system “as a good expression of its strategic and operational relevance in the Pacific region”, Koh said.

He said there were two possible locations for the system: Palawan province in the Philippines and Thitu, or Zhongye in Chinese – the largest island held by Manila in the disputed Spratly chain.

From Palawan, HIMARS could launch a missile at its maximum range to hit China’s man-made island at Mischief Reef, Koh said. But Thitu island would also be vulnerable to PLA air and missile strikes because it is only about 22km (14 miles) from China-occupied Subi Reef, and within striking range of missiles originating from the Paracel Islands and Hainan, he added.

New Weapons and Countermeasures for RAAF F-35A and F/A-18F

$
0
0
10 April 2019


F-35A Joint Strike Fighters and F/A-18 Hornet of the RAAF (photo : Newcastle Airport)

New weapons and countermeasures for air combat fleet

The Australian Government has approved Project AIR 6000 Phase 3 to acquire a range of new weapons and countermeasures for the F-35A Joint Strike Fighters and F/A-18F Super Hornets.

Minister for Defence, the Hon Christopher Pyne MP and Minister for Defence Industry, Senator the Hon Linda Reynolds CSC, made the announcement today outlining that self-protection was essential to Australia’s air combat capability.

“Aircraft self-protection countermeasures and weapons are essential elements of Australia’s air combat capability,” Minster Pyne said.

“This latest investment will ensure weapons and decoys are available as Australia’s air combat fleet transitions to the F-35A and Super Hornet.

“A range of complementary weapons and countermeasures will be acquired to provide comprehensive options for use in densely contested environments.”

Minister Reynolds said the Australian Government’s continued investment in the Joint Strike Fighter program, provided greater opportunities for Australian companies to maximise their success in the defence industry.

“The Australian Government is investing over $110 million into this phase of the Joint Strike Fighter program, sustaining more jobs in the Australian defence industry,” Minister Reynolds said.

“Thales Australia will supply weapon components, and Chemring Australia, will supply countermeasures for the project.”  

“The Joint Strike Fighter program has so far delivered over 2,400 jobs with this number expected to increase to over 5,000 jobs by 2023.”

(Aus DoD)

Pindad Berencana "Groundbreaking" Pabrik Amunisi Kaliber Sedang 2020

$
0
0
10 April 2019

Amunisi produksi Pindad (photo : Kumparan)

Jakarta (ANTARA) - PT Pindad (Persero) berencana untuk melakukan "groundbreaking" pabrik produksi amunisi kaliber sedang di Malang, Jatim, pada tahun 2020. 

"Ini kita sudah melakukan kontrak pengadaan mesinnya, dari sini kita akan mendefinisikan produknya maka tahun depan sudah bisa 'groundbreaking'," ujar General Manajer Senjata Pindad Yayat Ruyat di Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Selasa (9/4). 

Dia menjelaskan bahwa pabrik produksi amunisi kaliber sedang (20mm - 40mm) tersebut akan berlokasi di Malang, Jawa Timur. 

"Kita baru mau membangun lini produksinya (amunisi kaliber sedang), untuk membangun lini produksi itu kita perlu mendengar masukkan, arahan dan saran dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya pengguna," ucap Yayat. 

General Manajer Senjata tersebut menilai potensi amunisi kaliber sedang untuk kebutuhan dalam negeri bisa menghemat devisa hingga triliunan rupiah.

 "Berdasarkan data yang disampaikan oleh perwakilan dari Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI bahwa untuk rencana strategis atau renstra lima tahun mendatang terdapat dana Rp3 triliun, jadi dengan kita melakukan produksi sendiri kita bisa menghemat devisa triliunan rupiah," tuturnya. 

Selain itu, menurut Yayat, penguasaan teknologi amunisi kaliber sedang juga memiliki nilai strategis yakni Indonesia bisa mandiri, memiliki daya tawar dan daya gentar terhadap ancaman yang datang dari luar. 

"Untuk ekspor ini sangat terbuka, kalau kita melihat data yang ada di global, pada saat ini perkembangan di ASEAN maupun di Asia Pasifik dikarenakan konstelasi geopolitik dan hubungan antarnegara yang sedang panas seperti Laut China Selatan, hubungan India-Pakistan, Semenanjung Korea menjadikan kebutuhan untuk amunisi ini sangat besar," ujarnya. 

Pindad sedang membangun kemampuannya di bidang amunisi.Selama ini industri pertahanan itu memiliki kemampuan di bidang amunisi kaliber kecil dari tahun 1985, dan tantangan ke depan bagi Pindad adalah masuk ke amunisi kaliber besar. 

Yayat juga menjelaskan bahwa untuk menguasai teknologi amunisi kaliber besar maka Pindad perlu menguasai terlebih dahulu teknologi amunisi kaliber sedang (20mm sampai dengan 40mm) yang merupakan amunisi pertengahan atau antara kaliber kecil dan besar.

(AntaraNews)

EPI and The RMAF Extend the TP400 Service Contract

$
0
0
11 April 2019


RMAF A400M engine (photo : Michael J Barritt)

EPI has the great honour to continue providing the RMAF with technical and logistic support, parts availability and MRO services for their TP400 engines fleet. 

Indeed, during the 2019 LIMA Exhibition, Christophe Bruneau, President of Europrop International, signed an agreement to extend for the fourth year the services contract for the TP400-powered Airbus A400M of the Malaysian Air Force. 

The signing ceremony was witnessed by YB Tuan Haji Mohamad bin Sabu (Minister of Defence of Malaysia), YBhg Dato’ Halimi bin Abd Manaf (Secretary General, Ministry of Defence), YB Tuan Loke Siek Fook (Deputy Ministry of Defence) and General Tan Sri Zulkifli Zainal Abidin (Chief of Defence Forces). 

“We are very pleased to extend our partnership with the RMAF, which has one the highest level of engines and aircraft availability.” said Christophe Bruneau. 

The Royal Malaysian Air Force began operating the Airbus A400M in March 2015 and currently operates four aircraft. 

RAAF to Lease Three Dassault 7X for VVIP Mission

$
0
0
11 April 2019


RAAF Falcon 7X VVIP transport (photo : Julien-Chierici)

The Royal Australian Air Force will lease three Dassault 7X business jets as VVIP transports.

“Following a review, Defence will lease three new Dassault Falcon 7X aircraft to replace the three existing Bombardier CL604 Challengers,” says the Australian Department of Defence.

“The Falcon will have reduced operating costs, larger passenger load, modern communication capability and increased range and endurance. The Challengers are being replaced at a natural point in their aging and maintenance cycle.”

The department did not state the lessor that will supply the three jets.

FlightGlobal understands that the three Falcon 7Xs will enter service by the third quarter of 2019, and operate under the existing budget for the special purpose fleet.

Cirium’s Fleets Analyzer shows that the existing fleet of Challenger 604s has an average age of 16.6 years, and that they are leased from an undisclosed party.

The Falcon 7X is powered by three Pratt & Whitney PW307A engines, and has a maximum takeoff weight of 70,000lb. The RAAF’s Challenger 604s have a MTOW of 48,200lb, and have served with 34 sqn since 2003.

(FlightGlobal)

Kembangkan Panser Anoa Gurun, Pindad Incar Pasar Timur Tengah

$
0
0
11 April 2019

Prototipe panser Anoa 3 (photo : IMF)

Jakarta (ANTARA) - PT Pindad (Persero) pada tahun ini berencana untuk mengembangkan panser Anoa 3 untuk kebutuhan medan di gurun atau nantinya dikenal sebagai Anoa gurun, yang berpeluang untuk diekspor ke negara-negara di Timur Tengah. 

"Anoa 3 adalah panser Anoa yang memiliki mesin lebih bertenaga, kemampuan lintas medan yang lebih luas," kata General Manajer Senjata Pindad Yayat Ruyat di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Selasa. 

Ia mengatakan panser Anoa 3 tersebut mampu melintasi medan yang sulit, termasuk gurun, sehingga akan ditawarkan ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. 

"Sudah ada permintaan untuk panser Anoa 3 ini dari Arab Saudi. Belum menyebutkan jumlah (permintaan) tetapi negara tersebut sudah menyatakan minat dan ingin mencoba panser Anoa kita di sana," kata Yayat. 

Tidak hanya memiliki mesin yang lebih bertenaga dan kemampuan lintas medan lebih luas, panser Anoa gurun ini juga akan dilengkapi kemampuan untuk menghadapi serangan nuklir, biologi, dan kimia. 

Proteksi tambahan pada bodi panser (photo : IMF)

"Nanti ada juga kemampuan untuk menghadapi serangan Nubika atau nuklir, biologi, dan kimia. Jadi kalau ada serangan itu, mampu menghadapinya. 

Selain itu ada penyempurnaan-penyempurnaan dari Anoa yang ada," ujar Yayat. 

Panser Anoa 3 juga, kata dia, dapat dilengkapi sistem proteksi tambahan, seperti pelat keramik pelindung tambahan yang mampu menahan gempuran granat berpeluncur roket atau rocket propelled grenade (RPG). 

"Kendaraan-kendaraan tempur kita baik itu Anoa 3 maupun tank dapat ditambahkan juga dengan pelat keramik tambahan (add-on ceramic).

Pada saat ada serangan rudal atau amunisi yang menggunakan energi kinetik, maka serangan ini hanya akan menghancurkan pelat keramiknya saja yang kemudian mudah dicopot dan diganti lagi, sedangkan bodi utama pansernya, termasuk personel di dalamnya masih aman," kata Yayat. 

Panser Anoa 3 merupakan salah satu bagian dari target inovasi yang akan dijalankan oleh Pindad tahun ini. Target inovasi lainnya yang akan dikembangkan oleh Pindad pada tahun 2019 juga meliputi pengembangan prototipe senjata Cornershot untuk skala industri dan sejumlah alat utama sistem pertahanan lainnya.

(AntaraNews)

PT PAL Luncurkan KRI Alugoro-405

$
0
0
11 April 2019


KRI Alugoro 405 (photo : Antara)

PT PAL Luncurkan KRI Alugoro-405, Kapal Selam Pertama Produksi Anak Bangsa

SURABAYA, KOMPAS.com - Alutsista jenis kapal selam buatan anak bangsa pertama resmi diluncurkan, Kamis (11/4/2019), di Dermaga Fasilitas Kapal Selam PT PAL (Persero) Surabaya. Kapal selam tersebut diberi nama KRI Alugoro-405. 

Peluncuran dihadiri Menteri Pertahanan RI Jendral TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu dan Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana TNI Siwi Sukma Adji. Pemberian nama KRI Alugoro-405, secara simbolis akan diberikan oleh Ibu Nora Ryamizard Ryacudu. 

KRI Alugoro-405 diproduksi dengan skema transfer teknologi dengan Korea Selatan. Dalam hal ini Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co Ltd (DSME) Korea Selatan bekerja sama dengan perusahaan plat merah galangan kapal yakni PT PAL (Persero).

"Ada 200 lebih putra-putri terbaik bangsa Indonesia yang dikirim ke Korea Selatan untuk belajar produksi kapal selam ini," kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Laksamana Pertama TNI Mohamad Zaenal, di lokasi peluncuran. 

KRI Alugoro-405 adalah kapal selam ketiga yang dimiliki TNI Angkatan Laut Indonesia. Dua kapal sebelumnya juga dipesan dari DSME Korea Selatan yakni KRI Nagapasa-403 pada 2017, dan KRI Ardadedali-404 pada 2018. 

Sebelumnya, nama Alugoro juga pernah digunakan sebagai nama armada kapal selam yang didatangkan dari Uni Soviet, yakni RI Alugoro-406. Kapal tersebut bagian dari pengiriman 12 kapal selam Whiskey Class dalam kampanye operasi Trikora pada 1962. (Kompas)


KRI Alugoro 405 (photo : Antara)

Negara Lain Sudah Melirik Produksi Kapal Selam Indonesia

Surabaya - Kemampuan Indonesia membuat kapal selam ternyata telah dilirik oleh banyak negara. Hal itu dikatakan Direktur Pembangunan Kapal PT PAL Indonesia Turitan Indaryo.

"Ya ini masih rahasia tapi ini saya sudah didekati Filipina dan Malaysia," kata Turitan usai acara launching kapal selam Alugoro-405 di hanggar kapal selam PT PAL Indonesia di Surabaya, Kamis (11/4/2019).

Meski telah mampu membuat kapal selam selam sendiri, Turitan mengaku sebagian besar bahan masih diimpor. Karena menurutnya, bahan baku untuk pembuatan kapal selam masih terbatas di tiga negara saja.

"Bahannya masih impor. Dari 80 material kapal selam memang masih terbatas di dunia hanya yang saya tahu hanya 3 atau 4, Korea, Jerman dan satunya mungkin Amerika," terangnya.

Dikatakan Turitan, pihaknya saat ini tengah melakukan proses tandatangan kontrak kerjasama dengan Kementerian Pertahanan. Kontrak itu masing-masing untuk kapal keempat, kelima, dan keenam.

"Pokoknya tadi kita bisa beli, kita bisa bikin, kita bisa jual, dan rawat juga. Jadi banyangkan nanti ada 12 armada kapal selam maka kita akan menghemat devisa negara," ujarnya.

"Kalau total pembuatan (kapal selam) 77 bulan. Sama seperti ini (Alugoro)," tandasnya. (Detik)

Pengganti Hawk 109/209 TNI AU Kemungkinan F-16 Viper, Skadron Tempur Baru akan Dibentuk di Kupang

$
0
0
12 April 2019


Pesawat tempur F-16V (image Lockheed Martin)

ANGKASAREVIEW.COM-TNI Angkatan Udara telah merencanakan penggantian pesawat tempur taktis Hawk 109/209 yang kini masih dioperasikan oleh Skadron Udara 1 Lanud Supadio di Pontianak dan Skadron Udara 12 Lanud Roesmin Nurjadin di Pekanbaru.

Secara bertahap pesawat tempur buatan BAE System, Inggris yang digunakan oleh TNI AU sejak 1995 ini akan diganti dengan pesawat baru. Tahun depan, armada Hawk 109209 TNI AU berusia pakai 25 tahun atau berusia pakai 30 tahun pada 2025.

Penggantian armada Hawk 109/209 di dua skadron operasional TNI AU tersebut, akan dilaksanakan secara bertahap pada pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) TNI AU ke-4 periode 2020-2024. Hal ini pun sudah masuk dalam pengajuan pemenuhan kebutuhan pokok minimal (MEF) Tahap IV untuk periode yang sama. Sementara hingga akhir tahun ini, TNI AU masih menuntaskan pelaksanaan Renstra ke-3 periode 2015-2019.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Yuyu Sutisna mengatakan, rencana ke depan Hawk 109/209 di Skadron Udara 1 “Elang Khatulistiwa” akan digeser penempatannya ke Skadron Udara 12 “Black Panther”. Sehingga, semua armada Hawk 109/209 TNI AU akan berada di Skadron Udara 12 Pekanbaru.

Sementara Skadron Udara 1, akan diisi oleh pesawat tempur baru berdasarkan spesifikasi teknis yang diajukan oleh TNI AU.

“Jadi rencananya begitu, pesawat Hawk 109/209 Skadron Udara 1 akan digabung ke Skadron Udara 12 di Pekanbaru. Nah, Skadron Udara 1 akan diisi oleh pesawat tempur baru,” ujar Yuyu Sutisna kepada Redaksi AR di Jakarta, Selasa (9/4/2019) malam.

Saat ditanya pesawat baru yang dimaksud adalah apa, Yuyu tidak mengatakan secara gamblang.

Namun demikian, dari testimoni-testimoni yang didapat Angkasa Review dari sumber-sumber di lingkungan TNI AU, kemungkinan besar mengarah kepada pesawat tempur F-16V yang ditawarkan Lockheed Martin.

“Ya, nanti kita tunggu. Bisa jadi,” kata KSAU sambil tersenyum.

Skadron tempur baru di Kupang

Sementara itu, pada Renstra ke IV TNI AU juga telah merencanakan pembangunan satu skadron tempur baru di Lanud El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pesawat yang akan ditempatkan di skadron tempur baru ini nantinya sama dengan pesawat baru yang akan digunakan oleh Skadron Udara 1.

“Ya, kita sudah merencanakan pembangunan skadron tempur baru di Kupang. Ini masuk dalam Renstra ke IV periode 2020-2024,” jelas KSAU.

Dengan demikian, kata Yuyu, untuk melengkapi kekuatan Skadron Udara 1 dan skadron tempur baru di Kupang, TNI AU butuh dua skadron pesawat tempur baru.

“Kalau Hawk 109/209, memang pada saatnya nanti semua akan diganti, namun bertahap. Maka dari itu kita butuh pesawat tempur untuk Skadron Udara 1 sekaligus untuk skadron tempur baru di Kupang,” jelas Yuyu.

Kembali ke sumber-sumber lain, disebutkan bahwa TNI AU berharap mendapat tambahan 32 pesawat F-16 Viper untuk mengisi dua skadron. Masing-masing skadron dilengkapi 16 unit F-16V.

Lanud El Tari Kupang, saat ini berada di bawah Komando Operasi Angkatan Udara (Koopsau) III dan statusnya akan ditingkatkan menjadi Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Tipe A yang dipimpin oleh seorang perwira tinggi berpangkat bintang satu.

Pangkoopsau III yang baru, Marsma TNI Andyawan M.P di acara yang sama kepada Redaksi AR mengatakan, di jajaran Koopsau III akan dibangun tiga skadron baru.

Ketiga skadron dimaksud adalah Skadron Udara 27 di Biak dengan pesawat CN-235/CN-295, Skadron Udara 9 di Jayapura dengan helikopter Cougar/Caracal, dan skadron pesawat tempur baru di Kupang.

“Untuk Skadron Udara 27 sudah hampir selesai dan akan segera diresmikan oleh KSAU,” ujar penerbang F-16 alumni Akademi Angkatan Udara (AAU) 1989 yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Staf Koopsau I ini.

(Angkasa Review)

Austal Eyes to Supply Philippine Navy with PHL-Made OPVs

$
0
0
12 April 2019


Design of PN OPV, length 81.7m (all images : Austal)

Australian shipbuilder Austal is eyeing to sign a contract with the Philippine government for the supply and delivery of six offshore patrol vessels (OPVs) of Philippine Navy, a project included in Horizon 2 of Armed Forces of the Philippines (AFP) Modernization Program. Austal has a shipbuilding facility in Balamban, Cebu.

“The Philippines in the past has typically bought a lot of military vessels from external countries. We’re in a position right now where we can potentially build ships for Philippines’ Navy, built by Filipino workers in the Philippines,” Austal Philippines president and general manager Wayne Murray said during Australian Business Briefing on April 4 as quoted by Rappler.

“Because it’s an offshore patrol vessel, as the name implies, it’s offshore, but it’s not going to be international. It’s for inter-island protection,” he added.

It can be recalled that Austal unveiled in September 2018 its OPV proposal. 
The overall length of the OPV will be 81.7 meters, beam (moulded) will be 13.3 meters, and hull draft (maximum) will be 4 meters.



“The OPV is arranged with a starboard boat deck and stern well for the safe and rapid launch and recovery of RHIBs. The vessel is fitted with a mission bay and aft storage area to facilitate the embarkation of containerised mission modules,” Austal said at that time.

“The proposed design incorporates 20 years of product improvement and evolution beginning with the ‘Bay Class’ first delivered in 1999,” Austal added. “The Philippine Navy OPV is a steel hulled vessel featuring an aviation deck enabling helicopter and unmanned aeronautical systems missions.”

Austal said among the capabilities of the OPV are: Execute ISR operations; Conduct Search and Rescue operations; Execute anti-piracy, anti-terrorism, anti-smuggling, anti-human trafficking and anti-drug operations; Provide critical infrastructure protection; Support special forces operations; and Provide humanitarian assistance and disaster relief.

(Mintfo)

L3 to Deliver Electronic Warfare Aircraft to Australia With Next-Generation Capability

$
0
0
12 April 2019


L3 awarded contract for RAAF Gulfstream MC-55 EW support aircraft (photo : ADBR)

NEW YORK--(BUSINESS WIRE)-- L3 Technologies (NYSE:LLL) announced today that it has been awarded a prime contract with an estimated value of more than $1 billion to deliver four aircraft with next-generation airborne electronic warfare (EW) capability to the Royal Australian Air Force (RAAF).

Known as the MC-55A Peregrine, the contract includes four modified Gulfstream G550 aircraft with an integrated mission system that provides the latest EW capabilities. Work on this program was initiated in 2017. Funded orders received on this contract were approximately $230 million for the 2019 first quarter and approximately $700 million in total as of March 29, 2019.

“Our mission solution and electronic warfare capabilities are highly sought-after by our allies,” said Christopher E. Kubasik, L3’s Chairman, Chief Executive Officer and President. “As business jets are increasingly utilized for EW purposes, we have invested in miniaturizing our capabilities to deliver new resources for our customers. Australia is a very important market for L3, and we look forward to a long and productive partnership with the RAAF and the local supplier base in support of the Peregrine program.”


MC-55A Peregrine (photo : L3T)

The MC-55A Peregrine will be integrated into the Commonwealth’s joint warfighting networks, providing a critical link between platforms, including the F-35A Joint Strike Fighter, E-7A Wedgetail, EA-18G Growler, Navy surface combatants and amphibious assault ships, and ground assets to support the warfighter.

“This capability will greatly strengthen the RAAF’s goal to becoming a fully networked fifth-generation force and considerably enhance their global effect on peacekeeping and humanitarian operations,” said Jeff Miller, Corporate Senior Vice President and President of L3’s ISR Systems business segment. “It will serve as a critical link between air, land and sea assets to provide airborne electronic warfare support to Commonwealth and allied warfighters in complex operating environments.”

Work is being performed at L3’s Greenville, Texas facility and at Gulfstream in Savannah, Georgia. It will include airframe modifications to accommodate mission systems and secure communications equipment, installation of a self-protection suite, ground-based data processing systems and crew training services.

(L3T)

Kemhan Tandatangani Kontrak Alutsista Hampir Rp 22 Triliun Sekaligus

$
0
0
12 April 2019

Kontrak yang ditanda-tangani termasuk 3 kapal selam Type 209-1400 dengan PT PAL (photo : IMF)

Kemhan saksikan penandatanganan kontrak pembelian alutsista bernilai triliunan rupiah

Elshinta.com - Kementerian Pertahanan menyaksikan penandatanganan kontrak bersama pembelian alat utama sistem persenjataan strategis (alutsista) dan konstruksi di PT Pindad Bandung, Jawa Barat, Jumat (12/4).

Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu menyatakan, total jumlah kontrak yang ditandatangi berjumlah 22 kontrak yang terdiri dari 15 kontrak alutsista dan tujuh kontrak pengadaan konstruksi dengan nilai kontrak USD 1,4 miliar dan Rp1,2 triliun. Adapun jumlah penyedia jasa yang terlibat terdiri dari sembilan penyedia pengadaan dan tujuh penyedia konstruksi.

Dalam sambutannya, Ryamizard Ryacudu menyatakan, Kementerian Pertahanan mendorong BUMN dan BUMS strategis untuk secara mandiri memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan kemandirian memproduksi alutsista, kata Ryamizard, Indonesia tidak lagi menjadi bangsa konsumen tetapi terbukti telah mampu memproduksi sendiri dan diakui oleh dunia.

Ryamizard meyakini di masa mendatang negara-negara lain akan melirik produksi Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara produsen pertahanan yang mampu bersaing dengan negara maju lainnya. 

Lebih jauh, Ryamizard menegaskan, suatu negara yang memiliki potensi industri pertahanan yang tinggi maka dinilai sebagai negara yang maju secara ekonomi.

Kontrak yang ditanda-tangani disebut-sebut termasuk 22 kendaraan tempur IFV Pandur 8x8 dengan PT Pindad (photo : BMPD)

Hadir dalam acara penandatangan di PT Pindad, Kasum Mabes TNI Letjen Joni Supriyanto, Wakil Kepala Staf TNI AD Letjen Tatang Sulaiman, Dubes Korea Selatan, dan penyedia jasa BUMN serta BUMS strategis.

Melalui rilis yang diterima Redaksi Elshinta, diinformasikan berikut daftar kontrak pengadaan alutsista dan kontruksi:

Kontrak pengadaan alutsista:

-Ranpur infantri (PT Pindad)
-MKK (PT Pindad)
-Jati Infantri (PT Pindad)
-Ran Alsus Nubika (PT Merpati Wahana Raya)
-Mobil Ransus Jihandak (PT Merpati Wahana Raya)
-Kapal Selam Diesel Elektrik (PT PAL)
-Kapal Motor Cepat/KMC (PT Megah Perkasa)
-Perahu Rawa (PT Megah Perkasa)
-Kapal Angkut Tank/AT 8 & 9 (PT Bandar Abadi)
-Infrastruktur Simulator Sukhoi (PT LEN)
-Heli NAS 332C1 (PT LEN)
-Bom P250 live (PT Dahana)
-Ran Decon Truck (PT Merpati Wahana Raya)
-Ran Shop Contract Maintenance (PT Prasandha Dumayasa)
-Heli NAS 332C1 (PT DI)

Kontrak pengadaan konstruksi:

-Pembangunan lanjutan Rumah Sakit TNI AL di Belawan ( PT Surya Manunggal Wisesa)
-Pembangunan lanjutan gedung dan sarpras Pasmar 1 (PT Madyatika)
-Renovasi lanjutan mess TNI AU Jakarta (PT Sasana Anugrah Sejati)
-Pembangunan lanjutan landasan Lanud R Sajad Ranai (PT Dinasti Raya Sejagat)
-Pembangunan lanjutan sarpras Yon Armed 10/2/1 Kostrad Bogor (PT Andika Cakra Pratama)
-Pembangunan lanjutan garasi dan gudang Alberzi serta prasarana PRCPB dan perbatasan Kodam XII (PT Sinar Fajar Baru)
-Pembangunan lanjutan garasi dan gudang Alberzi serta prasarana PRCPB dan perbatasan Kodam VI (PT Nina Artha Propaganda Putri)

(Elshinta)

Cambodian Armed Forces Intend to Acquire APC for Peacekeeping Operations

$
0
0
12 April 2019


Cambodia send military personnel to Sudan, Chad, Syria, Lebanon and Mali (photo : defence.pk)

TSAMTO - According to the Borneo Bulletin website, the Prime Minister of Cambodia, Hun Sen approved the purchase of armored personnel carriers that will be used by the units of the Cambodian Armed Forces participating in UN peacekeeping operations.

As reported by Armyrecognition.com, Hun Sen stated that Cambodian military personnel involved in peacekeeping operations must use armored vehicles while navigating danger zones where there is a likelihood of laying IEDs or the threat of shelling by militants.

In May 2018, Cambodia sent 428 peacekeepers, including 24 women, to participate in UN peacekeeping missions in Mali and South Sudan. Since 2006, Cambodia has sent a total of 5,257 troops, including 236 women, to participate in UN operations in Sudan, South Sudan, the Central African Republic, Chad, Syria, Lebanon and Mali.

The use of IEDs is one of the main threats in contemporary conflicts and will remain so in future UN peacekeeping operations.

As stated, Cambodia’s armored vehicles planned for procurement should have a high level of protection for defenses against fragments, shelling from small arms, mines and improvised explosive devices.

(ArmsTrade)

Kemenhan Beli 1 Helikopter Super Puma Buatan PT DI

$
0
0
13 April 2019


Heli Super Puma TNI AU (photo : marthunis)

Bisnis.com, BANDUNG — PT Dirgantara Indonesia (DI) melakukan penandatanganan Kontrak Jual Beli dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia untuk pengadaan 1 (satu) unit Helikopter Super Puma NAS-332 C1+.

Pembelian tersebut ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen, Badan Sarana Pertahanan (Baranahan) Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Brigjen TNI Bambang Kusharto dan Direktur Niaga PT Dirgantara Indonesia (Persero) (PTDI), Irzal Rinaldi Zailani.

Penandatanganan Kontrak Jual Beli ini disaksikan oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu dan Direktur Utama PTDI, Elfien Goentoro.
Kontrak Jual Beli Helikopter Super Puma NAS-332 C1+ antara Kementerian Pertahanan RI dan PTDI untuk TNI Angkatan Udara dengan materiil kontrak meliputi 1 (satu) unit Helikopter ini juga termasuk Pelatihan untuk Penerbang dan Teknisi, Publikasi Teknis dan Suku Cadang.

Direktur Utama PTDI Elfien Goentoro, menjelaskan, Helikopter Super Puma NAS-332 C1+ merupakan produk PTDI yang dilengkapi dengan Avionic Glass Cockpit, disertai sensor optik AHRS (Attitude Heading and Reference System), teknologi FMS (Flight Management System), instrumen yang digunakan pilot untuk mengatur rencana terbang (Flight Plan) meliputi jalur yang akan dilewati helikopter, SAR Direction Finder untuk menangkap sinyal ELT (Emergency Locator Transmitter), NVG (Night Vision Goggle), Weather Radar dan Emergency Floatation untuk melakukan pendaratan darurat di atas air.

“Helikopter Super Puma NAS-332 C1+ dapat terbang selama 4 (empat) jam dengan kecepatan maksimum 306 km/jam. Helikopter yang mampu mengangkut 18 pasukan dan 3 crew (Pilot, Co-Pilot dan Juru Mudi Udara) ini merupakan heli angkut berat multipurpose yang dapat digunakan untuk military transport, cargo, paratroop transport, medical evacuation, serta VIP,” kata Elfien.

Helikopter Super Puma NAS-332 C1+ akan dilengkapi dengan Hoist untuk menarik/mengevakuasi korban pada sisi pintu kanan. Selain itu, helikopter ini juga memiliki sling yang berfungsi untuk membawa barang atau kendaraan taktis dengan beban maksimal 4,5 ton.

“Penandatanganan kontrak ini merupakan komitmen PTDI untuk dapat selalu memenuhi kebutuhan operasi serta tugas pokok dan fungsi TNI AU yang merupakan wujud dari peningkatan kemandirian industri pertahanan dalam negeri,” jelas Elfien.

(Bisnis)

Indonesia Signs USD1 Billion Contract for Three Follow-on SSKs to Nagapasa Class

$
0
0
13 April 2019


Indonesia has signed a USD1 billion contract with South Korean shipbuilding company DSME for three more diesel-electric submarines. The Indonesian shipbuilder PT PAL will play a larger role in the construction of these vessels. sixth boat PT PAL will construct all six modules in Indonesia, with assistance from DSME (photo : IMF)

The Indonesian Ministry of Defence has signed a USD1 billion contract with South Korean shipbuilder Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) for three Type 209/1400 diesel-electric submarines (SSKs). The contract was signed on 12 March in Bandung, West Java.


Section of Type 209-1400 submarine (image : PAL)

The vessels will be a follow-on to the country’s Nagapasa class, the contract for which was also awarded to DSME in 2011. Two submarines under this earlier contract have been commissioned by the Indonesian Navy (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut: TNI-AL), while a third was launched at PT PAL’s premises in Surabaya on 11 March.

Industry sources, who have been updating Jane’s on the progress of the negotiations for the follow-on SSKs since early January 2019, have also confirmed that PT PAL will take on larger workshare roles in this new deal with DSME as part of a technology transfer programme.

For the first vessel under the new contract, which will be the fourth-in-class overall, two of the SSK’s six modules will be constructed by PT PAL in Surabaya, while DSME will build the remaining four in South Korea. The Indonesian-built modules will be shipped to Okpo for assembly.


Workshare between DSME and PAL in batch 2 (image : PAL)

For the second submarine, which will be the fifth-in-class overall, PT PAL will construct four of the six modules in Surabaya, with DSME constructing the remaining two in Okpo. As with the first vessel, modules that have been constructed in Surabaya by PT PAL will be shipped to South Korea for final assembly.

For the third vessel in the contract, which will be the sixth-in-class overall, PT PAL initially proposed to build the entire submarine.

(Jane's)
Viewing all 14267 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>