11 Mei 2013
Pada tahun 2013 enam orang engineer dikirim ke Jerman untuk mempelajari rancangan dan pembuatan pesawat Stemme S15, untuk selanjutnya dapat menghasilkan desain hasil modifikasi dengan tetap bekerjasama dengan Stemme dan TU Berlin (photo : Stemme)
Indonesia melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bersama Universitas Berlin di Jerman mengembangkan pesawat pengamat bernama Lapan Surveillance Aircraft (LSA).
Konsep ini sebenarnya telah dibuat sejak 2011, tapi baru terealisasi pada 2012 dengan menggandeng Universitas Berlin sebagai mitra kerja sama. “Sampai saat ini ada enam orang ahli teknik kita yang berada di Jerman untuk terus melakukan riset, perancangan modifikasi, desain, pengujian, serta teknologi terhadap pesawat surveillance. Sedangkan untuk penerbangan resmi perdana LSA akan dilakukan akhir 2013 ini,” ungkap Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan Rika Andiarti, saat dihubungi KORAN SINDO.
Program LSA ini memiliki beberapa misi di antaranya akurasi citra satelit, verifikasi dan validasi citra satelit, monitoring produksi pertanian, aerial photogrammetry, pemantauan, pemetaan banjir, deteksi kebakaran, search and rescue (SAR), pemantauan perbatasan dan kehutanan, serta pemetaan tata kota.
Selain itu, LSA ini juga mampu mengakurasikan data dari foto citra satelit dengan resolusi tinggi yang telah digabung dengan satelitsatelit lain, mampu mengkroscek langsung di lapangan secara acak ketika terkadang satelit biasanya suka terhalang awan.
LSA ini berbasis pesawat ICON 5 Amphibius dengan memiliki daya terbang 8—24 jam, mampu mencapai ketinggian maksimal 7,5 km dan kecepatan jelajah 220 km/jam serta jarak tempuh maksimal 1.300 km.
Pesawat ini membutuhkan landasan dengan panjang minimal 300 m untuk take off dan landing. Pesawat ini memiliki total panjang mencapai 8,52 m dengan tinggi 2,45 m dengan lebar rentang lebar sayap sepanjang 18 m. Sedangkan resolusi gambar yang dihasilkan nanti mencapai hingga 50 cm dengan muatan hingga 70 kg.
Sebagai pesawat utilitas dengan dua kapasitas tempat duduk, badan pesawat komposit dengan mesin tunggal ini dilengkapi motor glider dan operasi aturan instrumen penerbangan (IFR). LSA ini pesawat dengan mesin tunggal dan jenis mesin yang digunakan adalah Rotax 914 F2/15 dengan tenaga mesin (MTOP) 115 HP. Tangki bahan bakar LSA berkapasitas 130 liter dan jenis bahan bakar yang digunakan adalah Avgas 100LL/Mogas.
Pesawat ini juga dilengkapi Propeler MTV-7-A/170- 051 serta 1,75 untuk diameter propeler dengan tiga bladed. Pesawat pengamat ini juga dilengkapi turbo charge dengan silinder pendingin udara dan kepala silinder pendingin air, karburator, kontrol pembuangan limbah otomatis, dan pengapian elektronik ganda. Daya tampung pesawat ini mencapai maksimal 20 kg serta 80 kg beban muatan dengan MTOW 1.300 kg.
Di bawah sayap pesawat sepanjang 18 m itu terselip kamera metrik berkalibrasi dengan areal kamera mount, sebuah kamera yang secara nyata dapat memonitor melalui lintas udara dengan sensor optik yang dikembangkan dengan system wide angle dan menghasilkan gambar beresolusi tinggi. “LSA merupakan pesawat ringan dengan teknologi yang dikombinasikan dengan aero dynamic serta engine dan sayap yang tentunya dapat mengangkat pesawat dengan stabil dan kamera canggih beresolusi tinggi,” papar Staf Ahli Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Hankam Teguh Rahardjo, kepada KORAN SINDO.
Teknologi canggih yang dipakai dalam pesawat LSA ini sebenarnya pengembangan dari pesawat Lapan Surveillance UAV (LSU), yang merupakan pesawat tanpa awak. Pesawat ini memiliki dua tipe yakni LSU 01 dan LSU 02. Pesawat yang terbuat dari sterofoam dan telah dipakai pada ketinggian 3.300 m saat letusan gunung merapi dan banjir beberapa waktu lalu ini berguna untuk verifikasi data satelit. “Menariknya, ini proses pembelajaran bagi Lapan untuk membangun pesawat dengan cara bertahap sehingga diharapkan kita akan mampu membuat pesawat sendiri tanpa bergantung negara lain,” ucap Teguh.
(Koran Sindo)
Pada tahun 2013 enam orang engineer dikirim ke Jerman untuk mempelajari rancangan dan pembuatan pesawat Stemme S15, untuk selanjutnya dapat menghasilkan desain hasil modifikasi dengan tetap bekerjasama dengan Stemme dan TU Berlin (photo : Stemme)
Indonesia melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bersama Universitas Berlin di Jerman mengembangkan pesawat pengamat bernama Lapan Surveillance Aircraft (LSA).
Konsep ini sebenarnya telah dibuat sejak 2011, tapi baru terealisasi pada 2012 dengan menggandeng Universitas Berlin sebagai mitra kerja sama. “Sampai saat ini ada enam orang ahli teknik kita yang berada di Jerman untuk terus melakukan riset, perancangan modifikasi, desain, pengujian, serta teknologi terhadap pesawat surveillance. Sedangkan untuk penerbangan resmi perdana LSA akan dilakukan akhir 2013 ini,” ungkap Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan Rika Andiarti, saat dihubungi KORAN SINDO.
Program LSA ini memiliki beberapa misi di antaranya akurasi citra satelit, verifikasi dan validasi citra satelit, monitoring produksi pertanian, aerial photogrammetry, pemantauan, pemetaan banjir, deteksi kebakaran, search and rescue (SAR), pemantauan perbatasan dan kehutanan, serta pemetaan tata kota.
Selain itu, LSA ini juga mampu mengakurasikan data dari foto citra satelit dengan resolusi tinggi yang telah digabung dengan satelitsatelit lain, mampu mengkroscek langsung di lapangan secara acak ketika terkadang satelit biasanya suka terhalang awan.
Konseptual desain LSA akan berbasis pesawat Icon 5 yang mempunyai kemampuan amphibi (photo : Icon Aircraft)
Pesawat ini membutuhkan landasan dengan panjang minimal 300 m untuk take off dan landing. Pesawat ini memiliki total panjang mencapai 8,52 m dengan tinggi 2,45 m dengan lebar rentang lebar sayap sepanjang 18 m. Sedangkan resolusi gambar yang dihasilkan nanti mencapai hingga 50 cm dengan muatan hingga 70 kg.
Sebagai pesawat utilitas dengan dua kapasitas tempat duduk, badan pesawat komposit dengan mesin tunggal ini dilengkapi motor glider dan operasi aturan instrumen penerbangan (IFR). LSA ini pesawat dengan mesin tunggal dan jenis mesin yang digunakan adalah Rotax 914 F2/15 dengan tenaga mesin (MTOP) 115 HP. Tangki bahan bakar LSA berkapasitas 130 liter dan jenis bahan bakar yang digunakan adalah Avgas 100LL/Mogas.
Di bawah sayap pesawat sepanjang 18 m itu terselip kamera metrik berkalibrasi dengan areal kamera mount, sebuah kamera yang secara nyata dapat memonitor melalui lintas udara dengan sensor optik yang dikembangkan dengan system wide angle dan menghasilkan gambar beresolusi tinggi. “LSA merupakan pesawat ringan dengan teknologi yang dikombinasikan dengan aero dynamic serta engine dan sayap yang tentunya dapat mengangkat pesawat dengan stabil dan kamera canggih beresolusi tinggi,” papar Staf Ahli Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Hankam Teguh Rahardjo, kepada KORAN SINDO.
Teknologi canggih yang dipakai dalam pesawat LSA ini sebenarnya pengembangan dari pesawat Lapan Surveillance UAV (LSU), yang merupakan pesawat tanpa awak. Pesawat ini memiliki dua tipe yakni LSU 01 dan LSU 02. Pesawat yang terbuat dari sterofoam dan telah dipakai pada ketinggian 3.300 m saat letusan gunung merapi dan banjir beberapa waktu lalu ini berguna untuk verifikasi data satelit. “Menariknya, ini proses pembelajaran bagi Lapan untuk membangun pesawat dengan cara bertahap sehingga diharapkan kita akan mampu membuat pesawat sendiri tanpa bergantung negara lain,” ucap Teguh.
(Koran Sindo)