15 September 2015
Prototipe rudal Petir V-101 yang mempunyai daya jelajah 260 km per jam. (photo : Radar Lampung)
Ricky Hendrik Egam, Dua Tahun Menunggu Sertifikat NATO
Setelah mendapat pesanan ribuan bom untuk Sukhoi, Ricky Hendrik Egam mengembangkan peluru kendali (rudal) berjarak 45 kilometer. Rudal itu diuji coba bulan depan. Sebidang bangunan di kompleks Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, itu tak menyerupai pabrik amunisi. Orang bisa keluar-masuk gedung tanpa menggunakan kartu pengenal. Dari pos satpam, tiga petugas keamanan hanya melihat dari kejauhan aktivitas para tamu.
Padahal, di balik bangunan tersebut, berjejer ratusan bom yang terlihat siap digunakan. Sebagian bom yang berbentuk fisik mirip tabung elpiji 12 kilogram itu masih diproses. Bahkan, di salah satu sudut bangunan terpajang rudal prototipe yang menyerupai miniatur pesawat tempur.
Ratusan bom siap pakai itu adalah amunisi khusus pesawat tempur Sukhoi Su-27/Su-30. Namanya P-100 (untuk latihan, berwarna biru) dan P-100 L (untuk tempur, hijau). Dua bom tersebut memiliki panjang 1.100 milimeter (mm), diameter 273 mm, berat 125 kilogram, dan panjang ekor 550 mm. Sebanyak 1.200 bom sudah dipesan TNI-AU untuk amunisi Sukhoi.
Sebelum dipasang di Sukhoi, P-100 dan P-100 L itu dikirim ke markas PT Dahana di Subang, Jawa Barat. Di sana selongsong bom tersebut diisi bahan peledak sesuai spesifikasi Sukhoi.
Lalu, rudal yang sedang dikembangkan bernama Petir V-101. Teknisi sengaja memasang sirip menyerupai pesawat tempur untuk memudahkan pengendalian kecepatan. ’’Kalau engine-nya sudah siap, sirip ini nanti dicopot,’’ kata Ricky Hendrik Egam, bos PT Sari Bumi, produsen bom dan rudal tersebut.
Selama pengembangan, Petir menggunakan engine standar dengan kecepatan 260 kilometer per jam. Teknisi sedang merancang engine sendiri yang diharapkan mampu mendongkrak kecepatan Petir menjadi 500 km per jam.
Petir V-101 menjadi produk andalan PT Sari Bumi. Rudal yang baru dirilis ke publik Agustus lalu itu merupakan rintisan produksi alutsista (alat utama sistem persenjataan) dari pihak swasta. Di Indonesia, produsen amunisi adalah perusahaan negara PT Pindad. Hanya, BUMN itu selama ini lebih fokus pada pengembangan roket balistik, yakni R-Han, yang berjarak jangkau 15 kilometer.
Sejak 2014, tiga prototipe Petir menjalani serangkaian uji coba. Yang terakhir, pengujian terbang dilakukan di Pameungpeuk, Jawa Barat. Selama percobaan, Petir belum diisi hulu ledak karena hanya menguji aspek aerodinamika. ‘‘Selanjutnya kami menguji sistem otopilotnya. Kalau berhasil, kami akan mengisi hulu ledaknya,’‘ ujar seorang teknisi. Uji coba terakhir bakal dilaksanakan di Pandanwangi, Lumajang, Oktober mendatang.
Ricky menargetkan, setelah uji coba terakhir, Petir tahun depan diharapkan mengikuti uji kelayakan sebelum digunakan untuk memperkuat alutsista TNI. Dia berharap uji coba yang menyedot biaya Rp 5 miliar itu dapat segera menghasilkan rudal andalan.
Bom produksi Sari Bahari (photo : Kaskus Militer)
Dia mengklaim, Petir sangat cocok dengan kebutuhan militer Indonesia. Selama ini rudal dengan jarak jelajah 45-60 km belum terisi. Rudal C-701 dan C-705 buatan Tiongkok, kini dikembangkan dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memiliki jelajah 60-80 km dan 135 km. Sedangkan Exocet MM40 Block 2 yang dimiliki TNI-AL berjarak 120 km.
Padahal, lanjut Ricky, Petir mengadopsi sejumlah teknologi mutakhir untuk pengindraan sasaran. ’’Kami sudah pakai multiple 3D point. Ini jelas lebih maju daripada rudal yang menggunakan seeker,’’ jelasnya. Konsekuensinya, lanjut dia, di Petir nanti dibenamkan prosesor tingkat tinggi untuk memproses data sasaran tembak.
Ricky mengakui sudah bertemu dengan perwakilan TNI untuk membicarakan hasil pengembangan rudal dan bomnya. Mereka umumnya tertarik dan diharapkan tiga matra TNI dapat menggunakan produknya. ’’Kami mengapresiasi pemerintah yang kini juga perhatian dengan industri alutsista,’’ jelas dia.
Dia lantas menceritakan perusahaannya yang beberapa waktu lalu diakui sebagai salah satu di antara sepuluh penyuplai resmi yang diajak kerja sama oleh TNI-AU. ’’Kami terdukung secara formal. Penunjukan langsung bisa saja. Namun, mekanismenya tidak berlangsung semena-mena. Ada aturan mainnya sendiri,’’ jelas Ricky.
Yang pasti, dengan produk lokal, bakal terjadi penghematan luar biasa dalam pengadaan alutsista. ’’Harga produk kami jauh lebih murah,’’ ujarnya. Belum lagi dapat memangkas biaya transportasi pengiriman alutsista dari luar negeri. ’’Kalau sudah alutsista impor, transportasinya dari luar negeri, itu sangat mahal,’’ jelasnya. Terlebih, ada fee untuk pihak perantara yang acap kali menambah biaya pembelian alutsista menjadi lebih mahal daripada harga seharusnya.
Menariknya, meski kini menggeluti dunia bom dan rudal, Ricky awalnya tidak memiliki pengetahuan teknis seputar alutsista. Pria yang berdomisili di Malang itu sebelumnya hanya rekanan biasa PT Pindad. Itu terjadi pada 1993. ’’Saat itu saya supplier barang umum, kebutuhan rumah tangga. Mulai produk pel-pelan, sapu, dan sejenisnya,’’ jelas dia.
Ricky juga berwiraswasta dengan memproduksi onderdil kendaraan bermotor berupa knalpot. ’’Itu sebenarnya bukan profesi utama. Cuma pernah (bisnis, Red) ini, pernah itu. Orang bisnis itu kan mencari bentuknya dulu,’’ jelas Ricky.
Nah, keahlian mengolah material baja untuk knalpot tersebut menginspirasi Ricky untuk menekuni bisnis selongsong bom. Maklum, bodi knalpot dan selongsong bom memang mirip dari sisi material, yakni sama-sama berbahan baja.
Roket produksi PT Sari Bahari (photo : TribunNews)
Suatu saat Ricky bersama sejumlah pejabat PT Pindad berkesempatan terbang ke Rusia untuk memenuhi undangan pameran. Kesempatan itu digunakan Ricky untuk mencari tahu teknologi pembuatan bom. ’’Kalau sekadar begini, saya bisa memproduksi,’’ kata Ricky setelah melihat-lihat pembuatan bom di salah satu pabrik di Rusia.
Selanjutnya, pada 2005, Ricky mulai serius menekuni bisnis alutsista. Ricky bersama tim riset TNI-AU meneliti salah satu bom buatan Rusia. ’’Kami akhirnya sukses memproduksi sendiri,’’ kenang Ricky.
Yang menarik, selama penelitian, bom P-100 tidak langsung disematkan pada Sukhoi. Tetapi, diaplikasikan dulu ke F-5 yang merupakan produk Amerika Serikat (AS). P-100 tidak mengalami kendala saat dipasang di F-5.
Nah, uji coba dengan F-5 tersebut ternyata menjadi berkah tersendiri bagi P-100. Sebab, kelayakan amunisi itu diakui sistem persenjataan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO). ’’Sebab itu, kesuksesan di F-5 berarti kita sukses versi NATO dan Rusia. Kita memang desain bom seperti itu,’’ ungkapnya.
Pada 2007, dengan segala kekurangan, bom P-100 hasil produksi Ricky mulai digunakan untuk latihan Sukhoi. Saat itu Sukhoi yang baru tiba dari Rusia belum dilengkapi senjata.
Kalaupun butuh untuk berlatih, TNI mengimpor bom yang kompatibel dengan Sukhoi. Harga per unit terhitung mahal, yakni USD 4.000. Kala itu, pada 2007, harga tersebut setara dengan Rp 40 juta.
Sebaliknya, harga bom P-100 yang menyamai produk Rusia jelas jauh lebih murah. Berapa harganya? ’’Wah, saya nggak bisa jelaskan. Yang pasti, bisa lebih murah 50 persen, bahkan lebih,’’ jelas Ricky.
Setelah dua tahun digunakan Sukhoi untuk berlatih dan pernah dipakai F-5, P-100 kini diakui dunia militer internasional. Yakni, dengan telah mengantonginya NSN (national stock number) dari badan kodifikasi. Dengan NSN, produk tersebut telah diakui sebagai amunisi bom bertaraf internasional, baik NATO maupun Rusia.
Pengembangan P-100 ternyata dimonitor militer negeri tetangga. Terbaru, delegasi pejabat Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM) yang juga mengoperasikan Sukhoi ternyata terpincut dengan P-100. ’’Mereka datang ke sini (pabrik PT Sari Bahari, Red), bahkan pejabat setingkat KSAU-nya. Mereka ingin membeli P-100,’‘ ungkap Ricky.
Namun, karena produk bom merupakan bagian industri strategis, Ricky harus mendapat persetujuan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk menjual P-100. ‘‘Sejauh ini Kemenhan merespons no. Jadi, kami tidak menjualnya,’‘ imbuh Ricky.
Meski demikian, PT Sari Bahari tidak melempar produknya di pasar militer internasional. Satu-satunya produk yang diekspor adalah 260 kepala roket latih (smoke warhead) kaliber 70 milimeter ke Republik Cile.
Produk lain yang juga menjadi andalan PT Sari Bahari adalah detonator (fuse) bom. Produk tersebut kini menjalani alih teknologi dengan perusahaan asal Bulgaria, Armaco. Alih teknologi dilakukan setelah PT Sari Bahari memesan 1.500 unit fuse. ’’Fuse ini bisa dipicu secara elektronik maupun manual,” katanya. Seperti diketahui, fuse adalah pemantik meledaknya sebuah bom. Selama ini produsen bom lokal belum mampu memproduksi sendiri alias mengalami ketergantungan produk impor.
Terakhir, PT Sari Bahari memproduksi roket jenis folding-fin aerial rocket dengan hulu ledak sesuai standar NATO.
(Radar Lampung)
Prototipe rudal Petir V-101 yang mempunyai daya jelajah 260 km per jam. (photo : Radar Lampung)
Ricky Hendrik Egam, Dua Tahun Menunggu Sertifikat NATO
Setelah mendapat pesanan ribuan bom untuk Sukhoi, Ricky Hendrik Egam mengembangkan peluru kendali (rudal) berjarak 45 kilometer. Rudal itu diuji coba bulan depan. Sebidang bangunan di kompleks Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, itu tak menyerupai pabrik amunisi. Orang bisa keluar-masuk gedung tanpa menggunakan kartu pengenal. Dari pos satpam, tiga petugas keamanan hanya melihat dari kejauhan aktivitas para tamu.
Padahal, di balik bangunan tersebut, berjejer ratusan bom yang terlihat siap digunakan. Sebagian bom yang berbentuk fisik mirip tabung elpiji 12 kilogram itu masih diproses. Bahkan, di salah satu sudut bangunan terpajang rudal prototipe yang menyerupai miniatur pesawat tempur.
Ratusan bom siap pakai itu adalah amunisi khusus pesawat tempur Sukhoi Su-27/Su-30. Namanya P-100 (untuk latihan, berwarna biru) dan P-100 L (untuk tempur, hijau). Dua bom tersebut memiliki panjang 1.100 milimeter (mm), diameter 273 mm, berat 125 kilogram, dan panjang ekor 550 mm. Sebanyak 1.200 bom sudah dipesan TNI-AU untuk amunisi Sukhoi.
Sebelum dipasang di Sukhoi, P-100 dan P-100 L itu dikirim ke markas PT Dahana di Subang, Jawa Barat. Di sana selongsong bom tersebut diisi bahan peledak sesuai spesifikasi Sukhoi.
Lalu, rudal yang sedang dikembangkan bernama Petir V-101. Teknisi sengaja memasang sirip menyerupai pesawat tempur untuk memudahkan pengendalian kecepatan. ’’Kalau engine-nya sudah siap, sirip ini nanti dicopot,’’ kata Ricky Hendrik Egam, bos PT Sari Bumi, produsen bom dan rudal tersebut.
Selama pengembangan, Petir menggunakan engine standar dengan kecepatan 260 kilometer per jam. Teknisi sedang merancang engine sendiri yang diharapkan mampu mendongkrak kecepatan Petir menjadi 500 km per jam.
Petir V-101 menjadi produk andalan PT Sari Bumi. Rudal yang baru dirilis ke publik Agustus lalu itu merupakan rintisan produksi alutsista (alat utama sistem persenjataan) dari pihak swasta. Di Indonesia, produsen amunisi adalah perusahaan negara PT Pindad. Hanya, BUMN itu selama ini lebih fokus pada pengembangan roket balistik, yakni R-Han, yang berjarak jangkau 15 kilometer.
Sejak 2014, tiga prototipe Petir menjalani serangkaian uji coba. Yang terakhir, pengujian terbang dilakukan di Pameungpeuk, Jawa Barat. Selama percobaan, Petir belum diisi hulu ledak karena hanya menguji aspek aerodinamika. ‘‘Selanjutnya kami menguji sistem otopilotnya. Kalau berhasil, kami akan mengisi hulu ledaknya,’‘ ujar seorang teknisi. Uji coba terakhir bakal dilaksanakan di Pandanwangi, Lumajang, Oktober mendatang.
Ricky menargetkan, setelah uji coba terakhir, Petir tahun depan diharapkan mengikuti uji kelayakan sebelum digunakan untuk memperkuat alutsista TNI. Dia berharap uji coba yang menyedot biaya Rp 5 miliar itu dapat segera menghasilkan rudal andalan.
Bom produksi Sari Bahari (photo : Kaskus Militer)
Dia mengklaim, Petir sangat cocok dengan kebutuhan militer Indonesia. Selama ini rudal dengan jarak jelajah 45-60 km belum terisi. Rudal C-701 dan C-705 buatan Tiongkok, kini dikembangkan dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memiliki jelajah 60-80 km dan 135 km. Sedangkan Exocet MM40 Block 2 yang dimiliki TNI-AL berjarak 120 km.
Padahal, lanjut Ricky, Petir mengadopsi sejumlah teknologi mutakhir untuk pengindraan sasaran. ’’Kami sudah pakai multiple 3D point. Ini jelas lebih maju daripada rudal yang menggunakan seeker,’’ jelasnya. Konsekuensinya, lanjut dia, di Petir nanti dibenamkan prosesor tingkat tinggi untuk memproses data sasaran tembak.
Ricky mengakui sudah bertemu dengan perwakilan TNI untuk membicarakan hasil pengembangan rudal dan bomnya. Mereka umumnya tertarik dan diharapkan tiga matra TNI dapat menggunakan produknya. ’’Kami mengapresiasi pemerintah yang kini juga perhatian dengan industri alutsista,’’ jelas dia.
Dia lantas menceritakan perusahaannya yang beberapa waktu lalu diakui sebagai salah satu di antara sepuluh penyuplai resmi yang diajak kerja sama oleh TNI-AU. ’’Kami terdukung secara formal. Penunjukan langsung bisa saja. Namun, mekanismenya tidak berlangsung semena-mena. Ada aturan mainnya sendiri,’’ jelas Ricky.
Yang pasti, dengan produk lokal, bakal terjadi penghematan luar biasa dalam pengadaan alutsista. ’’Harga produk kami jauh lebih murah,’’ ujarnya. Belum lagi dapat memangkas biaya transportasi pengiriman alutsista dari luar negeri. ’’Kalau sudah alutsista impor, transportasinya dari luar negeri, itu sangat mahal,’’ jelasnya. Terlebih, ada fee untuk pihak perantara yang acap kali menambah biaya pembelian alutsista menjadi lebih mahal daripada harga seharusnya.
Menariknya, meski kini menggeluti dunia bom dan rudal, Ricky awalnya tidak memiliki pengetahuan teknis seputar alutsista. Pria yang berdomisili di Malang itu sebelumnya hanya rekanan biasa PT Pindad. Itu terjadi pada 1993. ’’Saat itu saya supplier barang umum, kebutuhan rumah tangga. Mulai produk pel-pelan, sapu, dan sejenisnya,’’ jelas dia.
Ricky juga berwiraswasta dengan memproduksi onderdil kendaraan bermotor berupa knalpot. ’’Itu sebenarnya bukan profesi utama. Cuma pernah (bisnis, Red) ini, pernah itu. Orang bisnis itu kan mencari bentuknya dulu,’’ jelas Ricky.
Nah, keahlian mengolah material baja untuk knalpot tersebut menginspirasi Ricky untuk menekuni bisnis selongsong bom. Maklum, bodi knalpot dan selongsong bom memang mirip dari sisi material, yakni sama-sama berbahan baja.
Roket produksi PT Sari Bahari (photo : TribunNews)
Suatu saat Ricky bersama sejumlah pejabat PT Pindad berkesempatan terbang ke Rusia untuk memenuhi undangan pameran. Kesempatan itu digunakan Ricky untuk mencari tahu teknologi pembuatan bom. ’’Kalau sekadar begini, saya bisa memproduksi,’’ kata Ricky setelah melihat-lihat pembuatan bom di salah satu pabrik di Rusia.
Selanjutnya, pada 2005, Ricky mulai serius menekuni bisnis alutsista. Ricky bersama tim riset TNI-AU meneliti salah satu bom buatan Rusia. ’’Kami akhirnya sukses memproduksi sendiri,’’ kenang Ricky.
Yang menarik, selama penelitian, bom P-100 tidak langsung disematkan pada Sukhoi. Tetapi, diaplikasikan dulu ke F-5 yang merupakan produk Amerika Serikat (AS). P-100 tidak mengalami kendala saat dipasang di F-5.
Nah, uji coba dengan F-5 tersebut ternyata menjadi berkah tersendiri bagi P-100. Sebab, kelayakan amunisi itu diakui sistem persenjataan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO). ’’Sebab itu, kesuksesan di F-5 berarti kita sukses versi NATO dan Rusia. Kita memang desain bom seperti itu,’’ ungkapnya.
Pada 2007, dengan segala kekurangan, bom P-100 hasil produksi Ricky mulai digunakan untuk latihan Sukhoi. Saat itu Sukhoi yang baru tiba dari Rusia belum dilengkapi senjata.
Kalaupun butuh untuk berlatih, TNI mengimpor bom yang kompatibel dengan Sukhoi. Harga per unit terhitung mahal, yakni USD 4.000. Kala itu, pada 2007, harga tersebut setara dengan Rp 40 juta.
Sebaliknya, harga bom P-100 yang menyamai produk Rusia jelas jauh lebih murah. Berapa harganya? ’’Wah, saya nggak bisa jelaskan. Yang pasti, bisa lebih murah 50 persen, bahkan lebih,’’ jelas Ricky.
Setelah dua tahun digunakan Sukhoi untuk berlatih dan pernah dipakai F-5, P-100 kini diakui dunia militer internasional. Yakni, dengan telah mengantonginya NSN (national stock number) dari badan kodifikasi. Dengan NSN, produk tersebut telah diakui sebagai amunisi bom bertaraf internasional, baik NATO maupun Rusia.
Pengembangan P-100 ternyata dimonitor militer negeri tetangga. Terbaru, delegasi pejabat Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM) yang juga mengoperasikan Sukhoi ternyata terpincut dengan P-100. ’’Mereka datang ke sini (pabrik PT Sari Bahari, Red), bahkan pejabat setingkat KSAU-nya. Mereka ingin membeli P-100,’‘ ungkap Ricky.
Namun, karena produk bom merupakan bagian industri strategis, Ricky harus mendapat persetujuan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk menjual P-100. ‘‘Sejauh ini Kemenhan merespons no. Jadi, kami tidak menjualnya,’‘ imbuh Ricky.
Meski demikian, PT Sari Bahari tidak melempar produknya di pasar militer internasional. Satu-satunya produk yang diekspor adalah 260 kepala roket latih (smoke warhead) kaliber 70 milimeter ke Republik Cile.
Produk lain yang juga menjadi andalan PT Sari Bahari adalah detonator (fuse) bom. Produk tersebut kini menjalani alih teknologi dengan perusahaan asal Bulgaria, Armaco. Alih teknologi dilakukan setelah PT Sari Bahari memesan 1.500 unit fuse. ’’Fuse ini bisa dipicu secara elektronik maupun manual,” katanya. Seperti diketahui, fuse adalah pemantik meledaknya sebuah bom. Selama ini produsen bom lokal belum mampu memproduksi sendiri alias mengalami ketergantungan produk impor.
Terakhir, PT Sari Bahari memproduksi roket jenis folding-fin aerial rocket dengan hulu ledak sesuai standar NATO.
(Radar Lampung)